Kamis, 27 Mei 2010

Merari Siregar Si Jamin dan Si Johan

Dua Saudara yang Malang

DI TEPI Prinsenlaan*) di Taman Sari, ada sebuah rumah setengah tua, berdinding papan, beratap genting. Bila diperhatikan dinding rumah itu, catnya tidak tentu warnanya lagi dan halamannya yang sangat kotor, menandakan bahwa yang mendiami orang miskin juga.
Di rumah muka tersebut, berdiri seorang perempuan. Mukanya asam saja, tiada sabar rupanya. Sebentar-sebentar ia menoleh ke ujung jalan besar seolah-olah menantikan orang. Tidak berapa lama datang seorang anak laki-laki dengan tergopoh-gopoh. Setelah sampai, perempuan itu menegur dan menyuruh anak itu masuk ke rumah dengan segera. Anak itu masuk dengan diam-diam, diiringkan perempuan itu.
“Jamin, bawa kemari uang yang di kantungmu itu semuanya! Ayo lekas!...Dua puluh sembilan sen? Mesti ada lagi! Ayo lekas!!”
Begitulah suara yang keluar dari mulut perempuan itu. Tangan kirinya ia mengguncang-guncang tubuh anak itu dengan kasar.
Anak itu menangis. Ia berkata, bahwa uang tak ada lagi padanya biarpun satu sen.
“Engkau bohong,” tuduh perempuan itu dengan suara marah,” mesti ada kau sembunyikan. Ayoh, berikan semuanya, lekas!”
“O, o, bagus! Engkau beli nasi enam sen! Biasakanlah begitu! Berapa kali kukatakan, lebih dahulu harus engkau bawa ke rumah semua uang yang kau peroleh! Ingat,ya! Jangan lupa-lupa lagi! Mengerti?” Dan tiap-tiap kali ia membentak, anak itu di pukul dan di tendangnya, sehangga jatuh terguling-guling ke lantai. Kalau sudah demikian anak itu di tinggalkannya menangis di sudut kamar.
Perempuan itu keluar membawa uang. Sebelum menguncikan pintu ia memandang dulu kepada anak yang sedang menangis itu, dengan membeliakkan mata, sambil berkata “Tutup mulut! Kalau tidak...” Ia memutuskan perkataannya sambil mengacungkan tongkat pemukul.
Kota Jakarta*) selain dari penduduknya banyak, nyamuknya pun banyak. Karena itu orang tak hampir dapat tidur kalau tidak memakai kelambu. Pendeknya kelambu itu perlu di tiap-tiap rumah, sekalipun rumah orang miskin. Tetapi didalam rumah itu tidaklah tampak barang yang amat perlu. Selain itu tak ada apa-apa didalam rumah ituyang menarik pemandangan. Semuanya menyempitkan pikiran saja.
“Ah, dia sudah keluar,” kata anak itu sambil bersungut-sungut dan mengeringkan air mata dengan lengan bajunya. Sekali lagi dengarkan baik-baik, benarkah perempuan jahat dan bengis itu sudah keluar? Ya, ia sudah pergi dan didalam rumah itu tak ada lagi orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar